Sumber dari: ‘z-alimin.blogspot.com’
I. Pendahuluan
Public Law 101‑476, the Individuals with Disabilities Education Act (IDEA - undang-undang pendidikan penyandang cacat Amerika Serikat) tahun 1990 mendefinisikan ketunagrahitaan (mental retardation) sebagai berikut: ketunagrahitaan adalah kondisi kemampuan intelektual secara umum di bawah rata-rata, yang disertai dengan defisit dalam perilaku adaptif, dan terjadi dalam masa perkembangan, yang berpengaruh besar terhadap kinerja pendidikan anak (Hawkins‑Shepard, 1994).
Secara lebih spesifik, the American Association on Mental Retardation (AAMR) (1992) menjelaskan bahwa:
- Yang dimaksud dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata itu adalah skor IQ 70 hingga
Public Law 101‑476, the Individuals with Disabilities Education Act (IDEA - undang-undang pendidikan penyandang cacat Amerika Serikat) tahun 1990 mendefinisikan ketunagrahitaan (mental retardation) sebagai berikut: ketunagrahitaan adalah kondisi kemampuan intelektual secara umum di bawah rata-rata, yang disertai dengan defisit dalam perilaku adaptif, dan terjadi dalam masa perkembangan, yang berpengaruh besar terhadap kinerja pendidikan anak (Hawkins‑Shepard, 1994).
Secara lebih spesifik, the American Association on Mental Retardation (AAMR) (1992) menjelaskan bahwa:
- Yang dimaksud dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata itu adalah skor IQ 70 hingga
75 atau lebih rendah berdasarkan tes standar inteligensi individual.
- Defisit perilaku adaptif adalah keterbatasan dalam dua bidang keterampilan adaptif atau lebih,
- Defisit perilaku adaptif adalah keterbatasan dalam dua bidang keterampilan adaptif atau lebih,
yang mencakup bidang-bidang: komunikasi, merawat diri, mengurus rumah, keterampilan sosial, kehidupan kemasyarakatan, mengarahkan diri (self‑direction), kesehatan dan keselamatan, keterampilan akademik, penggunaan waktu senggang dan kerja. Keterbatasan tersebut mengacu pada keterbatasan keterampilan adaptif yang lebih terkait dengan aplikasi fungsional daripada keadaan-keadaan lain seperti perbedaan budaya atau gangguan sensoris.
- Usia perkembangan adalah sebelum usia 18 tahun.
Berdasarkan skor IQ-nya, American Association on Mental Defficiency (AAMD) mengklasifikasikan ketunagrahitaan ke dalam empat tingkatan, yaitu:
1) Tunagrahita ringan (mild mental retardation) (IQ 68‑52, MA 8,3‑10,9 tahun)
2) Tunagrahita sedang (moderate mental retardation) (IQ 51‑36, MA 5,7‑8,2 tahun)
3) Tunagrahita berat (severe mental retardation) (IQ 35‑20, MA 3,2‑5,6 tahun)
4) Tunagrahita parah (profound mental retardation) (IQ 19 atau lebih rendah, MA 3,1 tahun atau lebih rendah)
(Ingalls, 1978).
Jika kita ingin memperoleh gambaran tentang kemampuan seorang anak tunagrahita tertentu, MA anak itu hampir selalu merupakan dasar estimasi yang baik tentang kapabilitasnya. Seorang anak dengan MA lima tahun cenderung berkinerja pada tingkat usia lima tahun anak normal dalam semua bidang kemampuannya.
Akan tetapi, hasil analisis yang lebih seksama terhadap data hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat terlalu banyak perbedaan antara anak tunagrahita dan nontunagrahita dengan tingkat MA yang sama, sehingga kita tidak dapat sepenuhnya menerima teori perkembangan tersebut. Berikut ini adalah beberapa generalisasi yang dapat dibuat tentang kinerja anak tunagrahita dibanding anak normal dengan MA yang setara (Engalls, 1978):
1) Anak tunagrahita ketinggalan oleh anak nontunagrahita dalam perkembangan bahasanya, meskipun cara perolehannya sama.
2) Anak tunagrahita menunjukkan defisiensi tertentu dalam penggunaan konstruksi gramatik tertentu dalam berbahasa.
3) Anak tunagrahita cenderung kurang menggunakan komunikasi verbal, strategi penghafalan, serta proses-proses kontrol lainnya yang memudahkan belajar dan mengingat.
4) Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam tugas-tugas belajar dan hafalan yang melibatkan konsep-konsep abstrak dan kompleks, tetapi relatif kurang mengalami kesulitan dalam belajar asosiasi hafalan sederhana.
Makalah ini akan secara spesifik mengkaji kesulitan bahasa anak tunagrahita dan membahas beberapa pendekatan pengajarannya agar mereka dapat mengoptimalkan kemampuan dan keterampilan bahasanya.
II. Bahasa dan Ketunagrahitaan
Bahasa dan inteligensi begitu berkaitan sehingga ada ahli yang mendefinisikan ketunagrahitaan berdasarkan defisit bahasanya. Diasumsikan secara meluas bahwa bahasa diperlukan untuk sebagian besar proses berpikir tingkat tinggi, dan oleh karenanya sebagian besar item dalam kebanyakan tes inteligensi melibatkan stimulus verbal, respon verbal, atau keduanya. Defisit dalam keterampilan bahasa mungkin merupakan karakteristik yang paling menonjol yang membedakan antara orang tunagrahita dan non-tunagrahita (Ingalls, 1978).
Bahasa adalah satu sistem kaidah-kaidah yang berfungsi untuk menerjemahkan pikiran ke dalam rangkaian gelombang bunyi untuk mengkomunikasikan gagasan, informasi, perasaan dan keinginan manusia, yang terbentuk atas dasar kesepakatan-kesepakatan masyarakat penggunanya. Definisi ini mengandung arti bahwa bahasa itu terdiri dari dua komponen utama, yaitu sistem kaidah-kaidah linguistik yang mendasari kompetensi bahasa (language competence), dan ujaran (speech) atau kinerja bahasa (language performance). Kompetensi bahasa seseorang dapat tercermin pada kinerja bahasanya, tetapi kedua komponen kemampuan berbahasa ini tidak selalu berkembang sejalan.
Salah satu karakteristik yang terpenting dari bahasa adalah keterbukaannya terhadap generativitas. Ini berarti bahwa pikiran manusia dapat diungkapkan dalam kalimat-kalimat yang tak terbatas jumlahnya dengan berbagai pola, sehingga kita tidak akan pernah mendengar pengulangan kalimat yang sama dalam pembicaraan (kecuali untuk frase-frase ritualistik). Implikasinya adalah bahwa anak tidak akan dapat belajar bahasa sekedar dengan meniru kalimat-kalimat yang diucapkan orang dewasa. Dengan kata lain, anak belajar kaidah-kaidah abstrak untuk mengkonstruksikan kalimat bukannya mempelajari kalimat itu sendiri. Karakteristik inilah yang membedakan bahasa manusia dengan komunikasi hewan, sehingga anak tidak dapat belajar bahasa dengan prinsip asosiasi - mengasosiasikan ujaran tertentu dengan peristiwa tertentu seperti anjing Pavlov yang belajar mengasosiasikan antara bunyi bel dengan kedatangan makanan. Pada awal proses belajar bahasa, mungkin inilah yang dilakukan anak, tetapi dengan cepat dia mulai mengucapkan kalimat-kalimat yang belum pernah didengarnya sebelumnya. Bahasa manusia itu lebih dari sekedar katalog bunyi-bunyi yang diasosiasikan dengan makna-makna.
Komponen bahasa yang memungkinkan terjadinya keterbukaan ini adalah sintaksis (yang sering disebut tata bahasa), yaitu sistem kaidah-kaidah yang mengatur cara penggabungan kata-kata untuk membuat kalimat.
Banyak anak tunagrahita mengalami gangguan ujaran (speech disorder) dan/atau gangguan bahasa (language disorder).
2.1. Gangguan Ujaran
Gangguan ujaran adalah kesulitan dalam berbicara, tetapi belum tentu berarti anak lemah dalam pengetahuannya tentang bahasa.
Gangguan ujaran itu pada umumnya berupa masalah dalam artikulasi. Ini mencakup substitusi (satu bunyi diganti dengan bunyi lain), dan omisi (menghilangkan bunyi sama sekali - misalnya "saya" menjadi "aya"). Jenis ganguan lainnya mencakup keadaan gagap dan suara parau atau berkelainan dalam volume dan warna suaranya.
Terdapat banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa gangguan ujaran itu jauh lebih tinggi prevalensinya di kalangan tunagrahita daripada di kalangan populasi umum. Misalnya, survey yang dilakukan oleh Mariyn, Sheehan, dan Slutz (1969, dalam Ingalls, 1978) terhadap 346 pasien tunagrahita di Camarillo State Hospital di California menyimpulkan data sebagai berikut:
1) Hanya sekitar 20% dari populasi tunagrahita tersebut yang memiliki ujaran normal, yang lainnya mengalami jenis gangguan ujaran tertentu.
2) Semakin rendah IQ, semakin tinggi insiden gangguan ujaran itu. Di kalangan tunagrahita ringan, hampir 60% berujaran normal, sedangkan kurang dari 2% tunagrahita parah (profound) yang berujaran normal. Lebih dari sepertiga tunagrahita parah bahkan tidak memiliki ujaran sama sekali.
3) Gangguan ujaran yang paling umum di kalangan tunagrahita adalah gangguan artikulasi.
Keane (1972) mengkaji sejumlah besar hasil penelitian tentang gangguan ujaran pada anak tunagrahita dan menarik kesimpulan berikut:
1) Prevalensi gangguan komunikasi lebih tinggi di kalangan tunagrahita secara kolektif daripada di kalangan non-tunagrahita.
2) Gangguan ujaran dan gangguan bahasa tampaknya lebih tinggi prevalensinya di kalangan tunagrahita yang tinggal di panti daripada yang di non-panti.
3) Prevalensi gangguan yang lebih tinggi terjadi di kalangan mereka yang skala IQ-nya lebih rendah.
4) Tidak terdapat konfigurasi atau pola yang unik dalam gangguan ujaran dan bahasa di kalangan tunagrahita secara kolektif ataupun di kalangan suatu subkategori sindrom tertentu yang termasuk kategori tunagrahita. Jenis masalah ujarannya pada umumnya sama dengan yang ditemukan pada populasi normal, tetapi kejadiannya lebih sering.
5) Gangguan artikulasi adalah yang paling tinggi prevalensinya, dan gangguan suara pada urutan kedua.
6) Keadaan gagap lebih tinggi prevalensinya di kalangan penyandang Down's syndrome.
Terdapat sekurang-kurangnya dua alasan mengapa gangguan ujaran lebih tinggi prevalensinya di kalangan tunagrahita. Pertama, gangguan ujaran pada umumnya lebih sering terjadi pada anak hingga usia empat atau lima tahun dan banyak di antara mereka yang mengalami gangguan ini hingga usia tujuh atau delapan tahun dan sembuh dengan sendirinya (Ingalls, 1978. Karena anak tunagrahita mempunyai umur mental yang lebih rendah, maka wajar bila diasumsikan bahwa dalam banyak hal mereka akan berperilaku seperti anak normal dengan umur mental yang sama. Oleh karena itu, adanya gangguan ujaran merupakan salah satu ciri umur mental yang rendah. Kedua, berbagai gangguan dan anomali organ bicara lebih sering terjadi di kalangan anak tunagrahita (Ingalls, 1978). Misalnya, sumbing pada langit-langit mulut lebih tinggi prevalensinya di kalangan anak tunagrahita daripada populasi umum. Salah satu fitur yang membedakan anak Down's syndrome adalah lidah yang besar, yang akan mengganggu artikulasi.
2.2. Gangguan Bahasa
Contoh gangguan bahasa adalah ketidakmampuan menggunakan atau memahami sintaksis yang kompleks, atau terbatasnya kosakata, atau ketidakmampuan menggunakan bahasa secara benar. Orang tunagrahita mengalami banyak kesulitan bahasa, dan sejauh tertentu keadaan ini dapat dikaitkan dengan rendahnya umur mentalnya. Tes kemampuan bahasa yang paling banyak dipergunakan adalah Illinois Test of Psycholinguistic Abilities (ITPA), yang terdiri dari beberapa subtes untuk mengukur berbagai komponen bahasa (lihat Bab III untuk rincian lebih lanjut).
Berbagai penelitian tentang bahasa anak tunagrahita menghasilkan kesimpulan berikut:
1) Anak tunagrahita memperoleh keterampilan bahasa dengan cara yang pada dasarnya sama dengan anak normal.
2) Kecepatan mereka memperoleh keterampilan bahasa lebih rendah daripada anak normal. Akibatnya, bila anak tunagrahita dibandingkan dengan anak normal pada umur kalender yang sama, anak tunagrahita menunjukkan defisit yang jelas.
3) Karena perolehan bahasa berhenti sekitar masa pubertas, banyak individu tunagrahita sedang (moderate) dan sebagian besar individu tunagrahita berat (severe) dan parah (profound) tidak lengkap dalam perkembangan keterampilan bahasanya.
4) Secara rata-rata, anak tunagrahita terlambat dalam perkembangan bahasanya meskipun dibandingkan dengan anak non-tunagrahita pada umur mental yang sama.
5) Kesulitan utama anak tunagrahita dalam memperoleh bahasa adalah yang terkait dengan kaidah-kaidah tata bahasa yang kompleks seperti kaidah-kaidah infleksi.
6) Bahasa anak tunagrahita lebih konkret daripada bahasa anak non-tunagrahita.
7) Varian dalam keterampilan bahasa lebih besar di kalangan populasi tunagrahita daripada populasi normal. Pada tingkat perkembangan tertentu, kisaran kemampuan verbalnya dapat relatif luas.
III. Pendekatan‑pendekatan dalam Pengajaran Bahasa kepada Anak Tunagrahita
Sellin (1979) mengemukakan empat pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunagrahita, yaitu pendekatan sosiolinguistik, pendekatan psikolinguistik, pendekatan behaviorisme, dan pendekatan etologi.
3.1. Pendekatan Sosiolinguistik
Penggunaan pendekatan sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa bagi siswa tunagrahita dikembangkan oleh Adler (1971), dan dimaksudkan untuk menjembatani diskrepansi antara bahasa baku yang dipergunakan guru dengan bahasa non‑baku yang sering dijumpai pada siswa tunagrahita. Sosiolinguis memandang fungsi bahasa terutama sebagai alat komunikasi sosial, yaitu pertukaran makna antaranggota sebuah masyarakat budaya. Penggunaan bahasa non‑baku seyogyanya dapat diterima selama hal itu sama efektifnya dalam menyampaikan maksud pembicara. Oleh karena itu, pengajaran bahasa seyogyanya lebih ditekankan pada pembinaan keterampilan berbahasa sebagai alat komunikasi sosial, tidak pada ketepatan pelafalan atau aksen tertentu ‑ sehingga guru seyogyanya bertoleransi terhadap omisi dan substitusi dalam ujaran.
Bahasa anak seyogyanya diases menurut empat elemennya: (1) fonologi (bunyi, lafal); (2) semantik (makna, definisi); (3) sintaksis (susunan kata); dan (4) morfologi (tata bentuk kata yang terkait dengan struktur kalimat seperti pembentukan kata jadian). Keempat elemen tersebut saling terkait dan sulit untuk dipisah‑pisahkan, tetapi penekanan terhadap satu elemen tertentu dapat dilakukan. Pendekatan sosiolinguistik lebih menekankan elemen simantik, dan guru diharapkan lebih memprioritaskan kejelasan ekspresi kognitif siswa.
Ini berarti bahwa guru seyogyanya memprioritaskan pembentukan perilaku bahasa siswanya yang dapat difahami dengan baik oleh lawan bicaranya, daripada memprioritaskan ketepatan lafal atau struktur kalimatnya. Misalnya, siswa dapat ditoleransi untuk mengatakan "ujan", "nggak", "udah", dsb.
3.2. Pendekatan Behaviorisme
Para penganut faham behaviorisme memandang bahasa sebagai perilaku, yang dapat diperoleh melalui prosedur operant (Lynch & Brecker, 1972; Perozzi, 1972: Jeffery, 1973; Miller & Yoder, 1973; dalam Sellin (1979).
Lynch dan Brecker menggambarkan perolehan keterampilan berbahasa sebagai satu proses pengaruh lingkungan. Perolehan bahasa merupakan rangkaian linear dari bentuk yang primitif menuju bentuk yang semakin kompleks, yang didasarkan atas peristiwa-peristiwa pemicu (antecedent events). Peristiwa-peristiwa tersebut membentuk perkiraan-perkiraan baru (successive approximations) tentang keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks yang diperlukan untuk memperoleh reinforcement yang lebih kompleks pula. Lynch dan Brecker juga berpendapat bahwa kesiapan atau kematangan turut mempengaruhi proses perolehan bahasa. Perkembangan artikulasi, penggunaan kalimat negatif, penggunaan berbagai bentuk kata kerja, dan penggunaan kata-kata tanya muncul sesuai dengan urutan tertentu dalam masa perkembangan anak. Mereka mengemukakan bahwa hal tersebut berlaku pula bagi anak tunagrahita.
Perozzi sependapat bahwa bahasa mengandung aspek behavioristik dan aspek kematangan. Aspek kematangan memberikan indikator tentang kesiapan anak untuk belajar sesuatu yang lebih kompleks, dan aspek behavioristik memberikan kesadaran tentang perilaku bahasa tertentu yang harus dibentuk, dikondisikan, dan/atau diperoleh. Indikator kematangan tersebut mencakup: adanya tanda-tanda bahwa kesempatan untuk berbicara sudah muncul, adanya tanda-tanda munculnya perilaku tertentu secara teratur, dan munculnya tanda-tanda tentang adanya kesempatan untuk berlatih bila terdapat kondisi penguatnya.
Spadlin (1963, dalam Sellin, 1979) mencoba menerjemahkan konsep-konsep Skinner ke dalam prosedur asesmen perilaku bahasa. Dia mengemukakan empat perilaku utama, yaitu: echoic (mengulang kata atau kata-kata yang didengar - pada intinya perilaku meniru); mark (belajar meminta suatu benda atau bantuan); intraverbal (merespon terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai perasaan atau kesukaan); dan tact (menyebut nama benda atau menggambarkan fungsi benda).
Jeffery mengemukakan bahwa pengkondisian seorang anak tunagrahita berat untuk meningkatkan respon intraverbal dapat dilakukan melalui reinforcement sosial yang positif.
Miller dan Yoder menganjurkan bahwa isi latihan bahasa untuk anak tunagrahita dan pembentukan perilakunya harus mengikuti urutan yang sama dengan anak normal. Pembentukan ekspresi verbal, misalnya, harus mengikuti urutan sebagai berikut:
1) Istilah-istilah relasional (ya, tidak, sudah, belum, dsb.);
2) Kata-kata tunggal;
3) Frasa predikat-obyek (buka pintu, baca buku);
4) Frasa subyek-obyek (Ibu guru, Ayah dokter);
5) Frasa subyek-predikat (guru membaca, Budi duduk); dan
6) Kalimat subyek-predikat-obyek (Ayah membaca buku).
Miller dan Yoder menganjurkan empat prinsip pengajaran bahasa:
1) Guru menciptakan alasan, motif, atau kebutuhan anak untuk berkomunikasi;
2) Anak memahami makna kata sebelum melafalkannya;
3) Hadapkan anak dengan pengalaman langsung; dan
4) Gunakan reinforcement, peniruan, dan modeling.
3.3. Pendekatan Psikolinguistik
Dengan menekankan pentingnya kesiapan/kematangan, pengaruh lingkungan, dan intervensi guru, pendekatan psikolinguistik ini memiliki kesamaan dengan prinsip sosiolinguistik dan prosedur operant, tetapi terdapat perbedaan dalam asumsi tentang hakikat bahasa, asesmennya, dan metode pelatihannya.
Pembahasan mengenai pendekatan psikolinguistik tidak dapat dipisahkan dari pembahasan tentang Illinois Test of Psycholinguistic Abilities (ITPA), yang dikembangkan oleh Kirk dan McCarthy (1961). ITPA dimaksudkan untuk menciptakan instrumen yang dapat membedakan berbagai tingkat kemampuan dalam kinerja bahasa (language performance), sehingga dapat menampilkan profil tentang bidang-bidang kekuatan siswa dan peningkatan hasil belajarnya dalam bidang-bidang itu, sehingga prosedur pelatihan yang spesifik dapat diimplementasikan terhadap bidang-bidang yang masih bermasalah. Para ahli sepakat dengan maksud tersebut, tetapi sejumlah ahli masih mempertanyakan validitas instrumen pengukuran dan prosedur treatment-nya (Sellin, 1979).
ITPA terdiri dari beberapa subtes yang didesain untuk mengukur tiga fungsi utama penggunaan bahasa, yaitu:
1) saluran bahasa (auditori, visual, vokal);
2) proses (decoding/reseptif, encoding/ekspresif, asosiatif/informatif); dan
3) tingkat keberfungsian (bermakna dan konvensional serta representasional versus tingkat otomatis - sekuensial yang mencakup hafalan otomatis data tak bermakna).
Bateman dan Wetherell (1965) menyimpulkan bahwa karakteristik siswa tunagrahita yang terungkap oleh ITPA adalah:
- Relatif lebih baik dalam tingkat kemampuan representasional daripada tingkat kemampuan otomatis/sekuensial;
- Lebih baik dalam saluran visual-motor daripada auditori-vokal;
- Tidak ada perbedaan antara populasi daerah perkotaan dan pedesaan;
- Dapat dipergunakan untuk populasi MA tiga hingga sembilan tahun.
Pengajaran bahasa berdasarkan ITPA, yang terkait dengan saluran, tingkat keberfungsian dan/atau proses bahasa, telah dikaji oleh Hammill dan Larson (1974), Minskoff (1975) dan Newcomer, Larson, dan Hammill (1975).
Hammill dan Larson mengkaji BERBAGAI literatur mengenai pelatihan bahasa dengan ITPA, yang mencakup 15 hasil studi terhadap populasi tunagrahita dan 18 studi terhadap populasi kurang mampu. Mereka menyimpulkan bahwa ke-33 studi tersebut gagal menunjukkan peningkatan pada kelompok eksperimental. Hal tersebut diakibatkan oleh karena treatment yang kurang spesifik, rendahnya reliabilitas skor ITPA, yang berarti bahwa error dalam pengukuran mencegah terungkapnya kemajuan yang diperoleh, dan tidak aplikatifnya psikolinguistik.
Minskoff menyarankan agar pengajaran bahasa berdasarkan ITPA tetap dipertahankan, dengan memperbaiki bagian-bagian tertentu dalam pedoman penggunaannya, yang mencakup:
- Tujuan remediasi harus sesuai dengan gejala perilaku siswa, sesuai dengan tingkat kematangannya, dan diarahkan pada kecacatannya;
- Materi pengajaran harus terurut, disesuaikan dengan tingkat kecepatan belajar siswa, dipergunakan oleh guru yang dipersiapkan khusus untuk itu, dan dapat direstrukturisasi jika penguasaan siswa tidak segera tampak;
- Harus tersedia cukup waktu untuk pelatihan/pengajaran, mendeskripsikan preskripsi dan prosedur, dan tersedia layanan bagi siswa sesudah program remediasi selesai;
- Harus terdapat kecocokan antara prosedur tes dan pelatihan.
Akan tetapi, Newcomer et al. (1975) tidak sependapat dengan Minskoff yang memberikan dukungan terhadap pelatihan bahasa berdasarkan ITPA itu. Mereka menyimpulkan bahwa ITPA gagal menunjukkan peningkatan kemampuan berbahasa. Mereka menyarankan agar guru tetap bersikap skeptis terhadap ITPA.
Oleh karena itu, Sellin (1979) menyimpulkan bahwa untuk saat ini keberhasilan pengajaran bahasa bagi siswa tunagrahita yang didasarkan pada ITPA masih merupakan janji yang memerlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut.
3.4. Pendekatan Etologi (Ethological Approach)
Mahoney (1975) dan Sailor, Guess, dan Baer (1973), dll., mengusulkan pendekatgan etologi untuk penelitian dan treatment bagi gangguan bahasa. Pada dasarnya, pendekatan ini menggabungkan ketiga pendekatan di atas, karena perolehan bahasa dipandang sebagai produk interaksi.
Pendekatan etologi memandang perolehan keterampilan komunikasi sebagai sinkronisasi antara dua sistem, yaitu sistem individu anak itu sendiri, dan sistem individu dewasa yang mengasuhnya.
Kajian yang dilakukan oleh Buralnick (1972) dan Snyder, Loviit, dan Smith (1975) memberikan optimisme sehubungan dengan pengajaran bahasa bagi anak tunagrahita berat dan mendukung pendekatan etologi. Prosedur pelatihan untuk kelompok anak ini menekankan pembentukan respon sebelum produksi bahasa, penggunaan penguat (reinforcer), dan upaya transfer keterampilan. Menurut Mahoney, yang efektif untuk merangsang timbulnya respon dari seseorang adalah peristiwa-peristiwa yang berpengaruh terhadap perilaku orang tersebut. Oleh karena itu, guru dituntut untuk mempelajari terlebih dahulu untuk mempelajari pengalaman yang mengesankan bagi anak sebelum mulai mengajar. Keuntungan dari pandangan ini adalah bahwa orang dewasa turut dituntut untuk belajar berkomunikasi dengan anak, sehingga tanggung jawab untuk belajar itu tidak dibebankan semata-mata pada diri anak. Pada umumnya, penelitian berfokus pada kegagalan anak tunagrahita, ketidakmampuannya untuk belajar, dan/atau inefisiensi programnya (Sellin, 1979). Etologi berupaya membalik pola tersebut, dan menekankan bahwa orang dewasa bertanggung jawab untuk merancang program yang efektif.
Program yang didesain oleh Sailor et al. mengilustrasikan struktur dan isi pelatihan bahasa yang menggunakan pendekatan etologi. Struktur program tersebut difokuskan pada empat elemen: reference, control, self‑extended control, dan integration. Referensi adalah upaya menciptakan peristiwa yang menuntut respon dari anak, seperti reaksi terhadap arahan, suruhan, isyarat, dsb. Kontrol adalah tuntutan belajar perilaku tertentu yang terkandung di dalam bentuk-bentuk bahasa yang diajarkan. Self‑extended control adalah tuntutan agar anak belajar keterampilan self‑management. Secara spesifik, anak harus belajar mencari sendiri informasi bila dihadapkan dengan kurangnya informasi ‑ apa, di mana, bagaimana, dsb. Integrasi adalah penggabungan ketiga kegiatan tersebut.
Isi program ini mencakup urutan enam fase, yaitu: (1) orang dan benda, (2) tindakan terhadap orang dan benda, (3) barang-barang milik sendiri, (4) warna, (5) ukuran besar, dan (6) hubungan kekerabatan. Keempat elemen struktur di atas harus diterapkan pada masing-masing fase tersebut.
Format dasar pembelajarannya adalah:
1) Keterampilan reseptif sebelum keterampilan ekspresif;
2) Peristiwa merangsang timbulnya respon; dan
3) Respon harus berupa akibat yang positif.
IV. Kesimpulan dan Implikasi
Berbagai hasil penelitian tentang bahasa anak tunagrahita menunjukkan bahwa mereka memperoleh keterampilan bahasa dengan cara yang pada dasarnya sama dengan anak normal tetapi dengan kecepatan yang lebih rendah meskipun dibandingkan dengan anak normal pada umur mental yang sama. Kesulitan utama anak tunagrahita dalam memperoleh bahasa adalah yang terkait dengan kaidah-kaidah tata bahasa yang kompleks dan konsep-konsep yang abstrak. Di samping itu, prevalensi gangguan ujaran di kalangan populasi tunagrahita cukup menonjol. Tingkat kesulitan dan gangguan tersebut konsisten dengan tingkat kemampuan intelektualnya - semakin rendah IQ, semakin tinggi tingkat kesulitan dan gangguan yang mereka hadapi. Berbagai hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, anak tunagrahita dapat dibantu untuk mengoptimalkan kapasitas belajarnya.
Pengajaran bahasa kepada anak tunagrahita dapat menggunakan pendekatan sosiolinguistik (bahasa sebagai alat komunikasi antara individu dengan lingkungan sosialnya), pendekatan psikolinguistik (individu sebagai "learning system"), dan pendekatan behaviorisme (individu sebagai mesin peniru yang distimulasi oleh reinforcement), atau pendekatan etologi, yang menggabungkan ketiga pendekatan tersebut, dengan menekankan tanggung jawab guru atau orang dewasa untuk menciptakan lingkungan komunikasi yang bermakna bagi anak.
Dalam memilih dan menyajikan materi pengajaran, guru seyogyanya memperhatikan perkembangan kognitif anak tunagrahita. Penelitian Inhelder (1943, dalam Ingalls, 1978) menemukan bahwa anak tunagrahita ringan tidak dapat berkembang melampaui tahap perkembangan operasional konkret, dan bahwa anak tunagrahita sedang tidak dapat berkembang melampaui tahap perkembangan praoperasional.
- Usia perkembangan adalah sebelum usia 18 tahun.
Berdasarkan skor IQ-nya, American Association on Mental Defficiency (AAMD) mengklasifikasikan ketunagrahitaan ke dalam empat tingkatan, yaitu:
1) Tunagrahita ringan (mild mental retardation) (IQ 68‑52, MA 8,3‑10,9 tahun)
2) Tunagrahita sedang (moderate mental retardation) (IQ 51‑36, MA 5,7‑8,2 tahun)
3) Tunagrahita berat (severe mental retardation) (IQ 35‑20, MA 3,2‑5,6 tahun)
4) Tunagrahita parah (profound mental retardation) (IQ 19 atau lebih rendah, MA 3,1 tahun atau lebih rendah)
(Ingalls, 1978).
Jika kita ingin memperoleh gambaran tentang kemampuan seorang anak tunagrahita tertentu, MA anak itu hampir selalu merupakan dasar estimasi yang baik tentang kapabilitasnya. Seorang anak dengan MA lima tahun cenderung berkinerja pada tingkat usia lima tahun anak normal dalam semua bidang kemampuannya.
Akan tetapi, hasil analisis yang lebih seksama terhadap data hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat terlalu banyak perbedaan antara anak tunagrahita dan nontunagrahita dengan tingkat MA yang sama, sehingga kita tidak dapat sepenuhnya menerima teori perkembangan tersebut. Berikut ini adalah beberapa generalisasi yang dapat dibuat tentang kinerja anak tunagrahita dibanding anak normal dengan MA yang setara (Engalls, 1978):
1) Anak tunagrahita ketinggalan oleh anak nontunagrahita dalam perkembangan bahasanya, meskipun cara perolehannya sama.
2) Anak tunagrahita menunjukkan defisiensi tertentu dalam penggunaan konstruksi gramatik tertentu dalam berbahasa.
3) Anak tunagrahita cenderung kurang menggunakan komunikasi verbal, strategi penghafalan, serta proses-proses kontrol lainnya yang memudahkan belajar dan mengingat.
4) Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam tugas-tugas belajar dan hafalan yang melibatkan konsep-konsep abstrak dan kompleks, tetapi relatif kurang mengalami kesulitan dalam belajar asosiasi hafalan sederhana.
Makalah ini akan secara spesifik mengkaji kesulitan bahasa anak tunagrahita dan membahas beberapa pendekatan pengajarannya agar mereka dapat mengoptimalkan kemampuan dan keterampilan bahasanya.
II. Bahasa dan Ketunagrahitaan
Bahasa dan inteligensi begitu berkaitan sehingga ada ahli yang mendefinisikan ketunagrahitaan berdasarkan defisit bahasanya. Diasumsikan secara meluas bahwa bahasa diperlukan untuk sebagian besar proses berpikir tingkat tinggi, dan oleh karenanya sebagian besar item dalam kebanyakan tes inteligensi melibatkan stimulus verbal, respon verbal, atau keduanya. Defisit dalam keterampilan bahasa mungkin merupakan karakteristik yang paling menonjol yang membedakan antara orang tunagrahita dan non-tunagrahita (Ingalls, 1978).
Bahasa adalah satu sistem kaidah-kaidah yang berfungsi untuk menerjemahkan pikiran ke dalam rangkaian gelombang bunyi untuk mengkomunikasikan gagasan, informasi, perasaan dan keinginan manusia, yang terbentuk atas dasar kesepakatan-kesepakatan masyarakat penggunanya. Definisi ini mengandung arti bahwa bahasa itu terdiri dari dua komponen utama, yaitu sistem kaidah-kaidah linguistik yang mendasari kompetensi bahasa (language competence), dan ujaran (speech) atau kinerja bahasa (language performance). Kompetensi bahasa seseorang dapat tercermin pada kinerja bahasanya, tetapi kedua komponen kemampuan berbahasa ini tidak selalu berkembang sejalan.
Salah satu karakteristik yang terpenting dari bahasa adalah keterbukaannya terhadap generativitas. Ini berarti bahwa pikiran manusia dapat diungkapkan dalam kalimat-kalimat yang tak terbatas jumlahnya dengan berbagai pola, sehingga kita tidak akan pernah mendengar pengulangan kalimat yang sama dalam pembicaraan (kecuali untuk frase-frase ritualistik). Implikasinya adalah bahwa anak tidak akan dapat belajar bahasa sekedar dengan meniru kalimat-kalimat yang diucapkan orang dewasa. Dengan kata lain, anak belajar kaidah-kaidah abstrak untuk mengkonstruksikan kalimat bukannya mempelajari kalimat itu sendiri. Karakteristik inilah yang membedakan bahasa manusia dengan komunikasi hewan, sehingga anak tidak dapat belajar bahasa dengan prinsip asosiasi - mengasosiasikan ujaran tertentu dengan peristiwa tertentu seperti anjing Pavlov yang belajar mengasosiasikan antara bunyi bel dengan kedatangan makanan. Pada awal proses belajar bahasa, mungkin inilah yang dilakukan anak, tetapi dengan cepat dia mulai mengucapkan kalimat-kalimat yang belum pernah didengarnya sebelumnya. Bahasa manusia itu lebih dari sekedar katalog bunyi-bunyi yang diasosiasikan dengan makna-makna.
Komponen bahasa yang memungkinkan terjadinya keterbukaan ini adalah sintaksis (yang sering disebut tata bahasa), yaitu sistem kaidah-kaidah yang mengatur cara penggabungan kata-kata untuk membuat kalimat.
Banyak anak tunagrahita mengalami gangguan ujaran (speech disorder) dan/atau gangguan bahasa (language disorder).
2.1. Gangguan Ujaran
Gangguan ujaran adalah kesulitan dalam berbicara, tetapi belum tentu berarti anak lemah dalam pengetahuannya tentang bahasa.
Gangguan ujaran itu pada umumnya berupa masalah dalam artikulasi. Ini mencakup substitusi (satu bunyi diganti dengan bunyi lain), dan omisi (menghilangkan bunyi sama sekali - misalnya "saya" menjadi "aya"). Jenis ganguan lainnya mencakup keadaan gagap dan suara parau atau berkelainan dalam volume dan warna suaranya.
Terdapat banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa gangguan ujaran itu jauh lebih tinggi prevalensinya di kalangan tunagrahita daripada di kalangan populasi umum. Misalnya, survey yang dilakukan oleh Mariyn, Sheehan, dan Slutz (1969, dalam Ingalls, 1978) terhadap 346 pasien tunagrahita di Camarillo State Hospital di California menyimpulkan data sebagai berikut:
1) Hanya sekitar 20% dari populasi tunagrahita tersebut yang memiliki ujaran normal, yang lainnya mengalami jenis gangguan ujaran tertentu.
2) Semakin rendah IQ, semakin tinggi insiden gangguan ujaran itu. Di kalangan tunagrahita ringan, hampir 60% berujaran normal, sedangkan kurang dari 2% tunagrahita parah (profound) yang berujaran normal. Lebih dari sepertiga tunagrahita parah bahkan tidak memiliki ujaran sama sekali.
3) Gangguan ujaran yang paling umum di kalangan tunagrahita adalah gangguan artikulasi.
Keane (1972) mengkaji sejumlah besar hasil penelitian tentang gangguan ujaran pada anak tunagrahita dan menarik kesimpulan berikut:
1) Prevalensi gangguan komunikasi lebih tinggi di kalangan tunagrahita secara kolektif daripada di kalangan non-tunagrahita.
2) Gangguan ujaran dan gangguan bahasa tampaknya lebih tinggi prevalensinya di kalangan tunagrahita yang tinggal di panti daripada yang di non-panti.
3) Prevalensi gangguan yang lebih tinggi terjadi di kalangan mereka yang skala IQ-nya lebih rendah.
4) Tidak terdapat konfigurasi atau pola yang unik dalam gangguan ujaran dan bahasa di kalangan tunagrahita secara kolektif ataupun di kalangan suatu subkategori sindrom tertentu yang termasuk kategori tunagrahita. Jenis masalah ujarannya pada umumnya sama dengan yang ditemukan pada populasi normal, tetapi kejadiannya lebih sering.
5) Gangguan artikulasi adalah yang paling tinggi prevalensinya, dan gangguan suara pada urutan kedua.
6) Keadaan gagap lebih tinggi prevalensinya di kalangan penyandang Down's syndrome.
Terdapat sekurang-kurangnya dua alasan mengapa gangguan ujaran lebih tinggi prevalensinya di kalangan tunagrahita. Pertama, gangguan ujaran pada umumnya lebih sering terjadi pada anak hingga usia empat atau lima tahun dan banyak di antara mereka yang mengalami gangguan ini hingga usia tujuh atau delapan tahun dan sembuh dengan sendirinya (Ingalls, 1978. Karena anak tunagrahita mempunyai umur mental yang lebih rendah, maka wajar bila diasumsikan bahwa dalam banyak hal mereka akan berperilaku seperti anak normal dengan umur mental yang sama. Oleh karena itu, adanya gangguan ujaran merupakan salah satu ciri umur mental yang rendah. Kedua, berbagai gangguan dan anomali organ bicara lebih sering terjadi di kalangan anak tunagrahita (Ingalls, 1978). Misalnya, sumbing pada langit-langit mulut lebih tinggi prevalensinya di kalangan anak tunagrahita daripada populasi umum. Salah satu fitur yang membedakan anak Down's syndrome adalah lidah yang besar, yang akan mengganggu artikulasi.
2.2. Gangguan Bahasa
Contoh gangguan bahasa adalah ketidakmampuan menggunakan atau memahami sintaksis yang kompleks, atau terbatasnya kosakata, atau ketidakmampuan menggunakan bahasa secara benar. Orang tunagrahita mengalami banyak kesulitan bahasa, dan sejauh tertentu keadaan ini dapat dikaitkan dengan rendahnya umur mentalnya. Tes kemampuan bahasa yang paling banyak dipergunakan adalah Illinois Test of Psycholinguistic Abilities (ITPA), yang terdiri dari beberapa subtes untuk mengukur berbagai komponen bahasa (lihat Bab III untuk rincian lebih lanjut).
Berbagai penelitian tentang bahasa anak tunagrahita menghasilkan kesimpulan berikut:
1) Anak tunagrahita memperoleh keterampilan bahasa dengan cara yang pada dasarnya sama dengan anak normal.
2) Kecepatan mereka memperoleh keterampilan bahasa lebih rendah daripada anak normal. Akibatnya, bila anak tunagrahita dibandingkan dengan anak normal pada umur kalender yang sama, anak tunagrahita menunjukkan defisit yang jelas.
3) Karena perolehan bahasa berhenti sekitar masa pubertas, banyak individu tunagrahita sedang (moderate) dan sebagian besar individu tunagrahita berat (severe) dan parah (profound) tidak lengkap dalam perkembangan keterampilan bahasanya.
4) Secara rata-rata, anak tunagrahita terlambat dalam perkembangan bahasanya meskipun dibandingkan dengan anak non-tunagrahita pada umur mental yang sama.
5) Kesulitan utama anak tunagrahita dalam memperoleh bahasa adalah yang terkait dengan kaidah-kaidah tata bahasa yang kompleks seperti kaidah-kaidah infleksi.
6) Bahasa anak tunagrahita lebih konkret daripada bahasa anak non-tunagrahita.
7) Varian dalam keterampilan bahasa lebih besar di kalangan populasi tunagrahita daripada populasi normal. Pada tingkat perkembangan tertentu, kisaran kemampuan verbalnya dapat relatif luas.
III. Pendekatan‑pendekatan dalam Pengajaran Bahasa kepada Anak Tunagrahita
Sellin (1979) mengemukakan empat pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunagrahita, yaitu pendekatan sosiolinguistik, pendekatan psikolinguistik, pendekatan behaviorisme, dan pendekatan etologi.
3.1. Pendekatan Sosiolinguistik
Penggunaan pendekatan sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa bagi siswa tunagrahita dikembangkan oleh Adler (1971), dan dimaksudkan untuk menjembatani diskrepansi antara bahasa baku yang dipergunakan guru dengan bahasa non‑baku yang sering dijumpai pada siswa tunagrahita. Sosiolinguis memandang fungsi bahasa terutama sebagai alat komunikasi sosial, yaitu pertukaran makna antaranggota sebuah masyarakat budaya. Penggunaan bahasa non‑baku seyogyanya dapat diterima selama hal itu sama efektifnya dalam menyampaikan maksud pembicara. Oleh karena itu, pengajaran bahasa seyogyanya lebih ditekankan pada pembinaan keterampilan berbahasa sebagai alat komunikasi sosial, tidak pada ketepatan pelafalan atau aksen tertentu ‑ sehingga guru seyogyanya bertoleransi terhadap omisi dan substitusi dalam ujaran.
Bahasa anak seyogyanya diases menurut empat elemennya: (1) fonologi (bunyi, lafal); (2) semantik (makna, definisi); (3) sintaksis (susunan kata); dan (4) morfologi (tata bentuk kata yang terkait dengan struktur kalimat seperti pembentukan kata jadian). Keempat elemen tersebut saling terkait dan sulit untuk dipisah‑pisahkan, tetapi penekanan terhadap satu elemen tertentu dapat dilakukan. Pendekatan sosiolinguistik lebih menekankan elemen simantik, dan guru diharapkan lebih memprioritaskan kejelasan ekspresi kognitif siswa.
Ini berarti bahwa guru seyogyanya memprioritaskan pembentukan perilaku bahasa siswanya yang dapat difahami dengan baik oleh lawan bicaranya, daripada memprioritaskan ketepatan lafal atau struktur kalimatnya. Misalnya, siswa dapat ditoleransi untuk mengatakan "ujan", "nggak", "udah", dsb.
3.2. Pendekatan Behaviorisme
Para penganut faham behaviorisme memandang bahasa sebagai perilaku, yang dapat diperoleh melalui prosedur operant (Lynch & Brecker, 1972; Perozzi, 1972: Jeffery, 1973; Miller & Yoder, 1973; dalam Sellin (1979).
Lynch dan Brecker menggambarkan perolehan keterampilan berbahasa sebagai satu proses pengaruh lingkungan. Perolehan bahasa merupakan rangkaian linear dari bentuk yang primitif menuju bentuk yang semakin kompleks, yang didasarkan atas peristiwa-peristiwa pemicu (antecedent events). Peristiwa-peristiwa tersebut membentuk perkiraan-perkiraan baru (successive approximations) tentang keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks yang diperlukan untuk memperoleh reinforcement yang lebih kompleks pula. Lynch dan Brecker juga berpendapat bahwa kesiapan atau kematangan turut mempengaruhi proses perolehan bahasa. Perkembangan artikulasi, penggunaan kalimat negatif, penggunaan berbagai bentuk kata kerja, dan penggunaan kata-kata tanya muncul sesuai dengan urutan tertentu dalam masa perkembangan anak. Mereka mengemukakan bahwa hal tersebut berlaku pula bagi anak tunagrahita.
Perozzi sependapat bahwa bahasa mengandung aspek behavioristik dan aspek kematangan. Aspek kematangan memberikan indikator tentang kesiapan anak untuk belajar sesuatu yang lebih kompleks, dan aspek behavioristik memberikan kesadaran tentang perilaku bahasa tertentu yang harus dibentuk, dikondisikan, dan/atau diperoleh. Indikator kematangan tersebut mencakup: adanya tanda-tanda bahwa kesempatan untuk berbicara sudah muncul, adanya tanda-tanda munculnya perilaku tertentu secara teratur, dan munculnya tanda-tanda tentang adanya kesempatan untuk berlatih bila terdapat kondisi penguatnya.
Spadlin (1963, dalam Sellin, 1979) mencoba menerjemahkan konsep-konsep Skinner ke dalam prosedur asesmen perilaku bahasa. Dia mengemukakan empat perilaku utama, yaitu: echoic (mengulang kata atau kata-kata yang didengar - pada intinya perilaku meniru); mark (belajar meminta suatu benda atau bantuan); intraverbal (merespon terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai perasaan atau kesukaan); dan tact (menyebut nama benda atau menggambarkan fungsi benda).
Jeffery mengemukakan bahwa pengkondisian seorang anak tunagrahita berat untuk meningkatkan respon intraverbal dapat dilakukan melalui reinforcement sosial yang positif.
Miller dan Yoder menganjurkan bahwa isi latihan bahasa untuk anak tunagrahita dan pembentukan perilakunya harus mengikuti urutan yang sama dengan anak normal. Pembentukan ekspresi verbal, misalnya, harus mengikuti urutan sebagai berikut:
1) Istilah-istilah relasional (ya, tidak, sudah, belum, dsb.);
2) Kata-kata tunggal;
3) Frasa predikat-obyek (buka pintu, baca buku);
4) Frasa subyek-obyek (Ibu guru, Ayah dokter);
5) Frasa subyek-predikat (guru membaca, Budi duduk); dan
6) Kalimat subyek-predikat-obyek (Ayah membaca buku).
Miller dan Yoder menganjurkan empat prinsip pengajaran bahasa:
1) Guru menciptakan alasan, motif, atau kebutuhan anak untuk berkomunikasi;
2) Anak memahami makna kata sebelum melafalkannya;
3) Hadapkan anak dengan pengalaman langsung; dan
4) Gunakan reinforcement, peniruan, dan modeling.
3.3. Pendekatan Psikolinguistik
Dengan menekankan pentingnya kesiapan/kematangan, pengaruh lingkungan, dan intervensi guru, pendekatan psikolinguistik ini memiliki kesamaan dengan prinsip sosiolinguistik dan prosedur operant, tetapi terdapat perbedaan dalam asumsi tentang hakikat bahasa, asesmennya, dan metode pelatihannya.
Pembahasan mengenai pendekatan psikolinguistik tidak dapat dipisahkan dari pembahasan tentang Illinois Test of Psycholinguistic Abilities (ITPA), yang dikembangkan oleh Kirk dan McCarthy (1961). ITPA dimaksudkan untuk menciptakan instrumen yang dapat membedakan berbagai tingkat kemampuan dalam kinerja bahasa (language performance), sehingga dapat menampilkan profil tentang bidang-bidang kekuatan siswa dan peningkatan hasil belajarnya dalam bidang-bidang itu, sehingga prosedur pelatihan yang spesifik dapat diimplementasikan terhadap bidang-bidang yang masih bermasalah. Para ahli sepakat dengan maksud tersebut, tetapi sejumlah ahli masih mempertanyakan validitas instrumen pengukuran dan prosedur treatment-nya (Sellin, 1979).
ITPA terdiri dari beberapa subtes yang didesain untuk mengukur tiga fungsi utama penggunaan bahasa, yaitu:
1) saluran bahasa (auditori, visual, vokal);
2) proses (decoding/reseptif, encoding/ekspresif, asosiatif/informatif); dan
3) tingkat keberfungsian (bermakna dan konvensional serta representasional versus tingkat otomatis - sekuensial yang mencakup hafalan otomatis data tak bermakna).
Bateman dan Wetherell (1965) menyimpulkan bahwa karakteristik siswa tunagrahita yang terungkap oleh ITPA adalah:
- Relatif lebih baik dalam tingkat kemampuan representasional daripada tingkat kemampuan otomatis/sekuensial;
- Lebih baik dalam saluran visual-motor daripada auditori-vokal;
- Tidak ada perbedaan antara populasi daerah perkotaan dan pedesaan;
- Dapat dipergunakan untuk populasi MA tiga hingga sembilan tahun.
Pengajaran bahasa berdasarkan ITPA, yang terkait dengan saluran, tingkat keberfungsian dan/atau proses bahasa, telah dikaji oleh Hammill dan Larson (1974), Minskoff (1975) dan Newcomer, Larson, dan Hammill (1975).
Hammill dan Larson mengkaji BERBAGAI literatur mengenai pelatihan bahasa dengan ITPA, yang mencakup 15 hasil studi terhadap populasi tunagrahita dan 18 studi terhadap populasi kurang mampu. Mereka menyimpulkan bahwa ke-33 studi tersebut gagal menunjukkan peningkatan pada kelompok eksperimental. Hal tersebut diakibatkan oleh karena treatment yang kurang spesifik, rendahnya reliabilitas skor ITPA, yang berarti bahwa error dalam pengukuran mencegah terungkapnya kemajuan yang diperoleh, dan tidak aplikatifnya psikolinguistik.
Minskoff menyarankan agar pengajaran bahasa berdasarkan ITPA tetap dipertahankan, dengan memperbaiki bagian-bagian tertentu dalam pedoman penggunaannya, yang mencakup:
- Tujuan remediasi harus sesuai dengan gejala perilaku siswa, sesuai dengan tingkat kematangannya, dan diarahkan pada kecacatannya;
- Materi pengajaran harus terurut, disesuaikan dengan tingkat kecepatan belajar siswa, dipergunakan oleh guru yang dipersiapkan khusus untuk itu, dan dapat direstrukturisasi jika penguasaan siswa tidak segera tampak;
- Harus tersedia cukup waktu untuk pelatihan/pengajaran, mendeskripsikan preskripsi dan prosedur, dan tersedia layanan bagi siswa sesudah program remediasi selesai;
- Harus terdapat kecocokan antara prosedur tes dan pelatihan.
Akan tetapi, Newcomer et al. (1975) tidak sependapat dengan Minskoff yang memberikan dukungan terhadap pelatihan bahasa berdasarkan ITPA itu. Mereka menyimpulkan bahwa ITPA gagal menunjukkan peningkatan kemampuan berbahasa. Mereka menyarankan agar guru tetap bersikap skeptis terhadap ITPA.
Oleh karena itu, Sellin (1979) menyimpulkan bahwa untuk saat ini keberhasilan pengajaran bahasa bagi siswa tunagrahita yang didasarkan pada ITPA masih merupakan janji yang memerlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut.
3.4. Pendekatan Etologi (Ethological Approach)
Mahoney (1975) dan Sailor, Guess, dan Baer (1973), dll., mengusulkan pendekatgan etologi untuk penelitian dan treatment bagi gangguan bahasa. Pada dasarnya, pendekatan ini menggabungkan ketiga pendekatan di atas, karena perolehan bahasa dipandang sebagai produk interaksi.
Pendekatan etologi memandang perolehan keterampilan komunikasi sebagai sinkronisasi antara dua sistem, yaitu sistem individu anak itu sendiri, dan sistem individu dewasa yang mengasuhnya.
Kajian yang dilakukan oleh Buralnick (1972) dan Snyder, Loviit, dan Smith (1975) memberikan optimisme sehubungan dengan pengajaran bahasa bagi anak tunagrahita berat dan mendukung pendekatan etologi. Prosedur pelatihan untuk kelompok anak ini menekankan pembentukan respon sebelum produksi bahasa, penggunaan penguat (reinforcer), dan upaya transfer keterampilan. Menurut Mahoney, yang efektif untuk merangsang timbulnya respon dari seseorang adalah peristiwa-peristiwa yang berpengaruh terhadap perilaku orang tersebut. Oleh karena itu, guru dituntut untuk mempelajari terlebih dahulu untuk mempelajari pengalaman yang mengesankan bagi anak sebelum mulai mengajar. Keuntungan dari pandangan ini adalah bahwa orang dewasa turut dituntut untuk belajar berkomunikasi dengan anak, sehingga tanggung jawab untuk belajar itu tidak dibebankan semata-mata pada diri anak. Pada umumnya, penelitian berfokus pada kegagalan anak tunagrahita, ketidakmampuannya untuk belajar, dan/atau inefisiensi programnya (Sellin, 1979). Etologi berupaya membalik pola tersebut, dan menekankan bahwa orang dewasa bertanggung jawab untuk merancang program yang efektif.
Program yang didesain oleh Sailor et al. mengilustrasikan struktur dan isi pelatihan bahasa yang menggunakan pendekatan etologi. Struktur program tersebut difokuskan pada empat elemen: reference, control, self‑extended control, dan integration. Referensi adalah upaya menciptakan peristiwa yang menuntut respon dari anak, seperti reaksi terhadap arahan, suruhan, isyarat, dsb. Kontrol adalah tuntutan belajar perilaku tertentu yang terkandung di dalam bentuk-bentuk bahasa yang diajarkan. Self‑extended control adalah tuntutan agar anak belajar keterampilan self‑management. Secara spesifik, anak harus belajar mencari sendiri informasi bila dihadapkan dengan kurangnya informasi ‑ apa, di mana, bagaimana, dsb. Integrasi adalah penggabungan ketiga kegiatan tersebut.
Isi program ini mencakup urutan enam fase, yaitu: (1) orang dan benda, (2) tindakan terhadap orang dan benda, (3) barang-barang milik sendiri, (4) warna, (5) ukuran besar, dan (6) hubungan kekerabatan. Keempat elemen struktur di atas harus diterapkan pada masing-masing fase tersebut.
Format dasar pembelajarannya adalah:
1) Keterampilan reseptif sebelum keterampilan ekspresif;
2) Peristiwa merangsang timbulnya respon; dan
3) Respon harus berupa akibat yang positif.
IV. Kesimpulan dan Implikasi
Berbagai hasil penelitian tentang bahasa anak tunagrahita menunjukkan bahwa mereka memperoleh keterampilan bahasa dengan cara yang pada dasarnya sama dengan anak normal tetapi dengan kecepatan yang lebih rendah meskipun dibandingkan dengan anak normal pada umur mental yang sama. Kesulitan utama anak tunagrahita dalam memperoleh bahasa adalah yang terkait dengan kaidah-kaidah tata bahasa yang kompleks dan konsep-konsep yang abstrak. Di samping itu, prevalensi gangguan ujaran di kalangan populasi tunagrahita cukup menonjol. Tingkat kesulitan dan gangguan tersebut konsisten dengan tingkat kemampuan intelektualnya - semakin rendah IQ, semakin tinggi tingkat kesulitan dan gangguan yang mereka hadapi. Berbagai hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, anak tunagrahita dapat dibantu untuk mengoptimalkan kapasitas belajarnya.
Pengajaran bahasa kepada anak tunagrahita dapat menggunakan pendekatan sosiolinguistik (bahasa sebagai alat komunikasi antara individu dengan lingkungan sosialnya), pendekatan psikolinguistik (individu sebagai "learning system"), dan pendekatan behaviorisme (individu sebagai mesin peniru yang distimulasi oleh reinforcement), atau pendekatan etologi, yang menggabungkan ketiga pendekatan tersebut, dengan menekankan tanggung jawab guru atau orang dewasa untuk menciptakan lingkungan komunikasi yang bermakna bagi anak.
Dalam memilih dan menyajikan materi pengajaran, guru seyogyanya memperhatikan perkembangan kognitif anak tunagrahita. Penelitian Inhelder (1943, dalam Ingalls, 1978) menemukan bahwa anak tunagrahita ringan tidak dapat berkembang melampaui tahap perkembangan operasional konkret, dan bahwa anak tunagrahita sedang tidak dapat berkembang melampaui tahap perkembangan praoperasional.
Karakteristik perkembangan kognitif pada masa praoperasional menurut Piaget antara lain adalah sebagai berikut:
- Belum dapat berpikir logis;
- Persepsi terbatas/harafiah;
- Sentris: anak hanya dapat memfokuskan perhatiannya pada satu dimensi stimulus saja pada satu saat;
- Egosentrik: anak tidak dapat menerima pendapat orang lain.;
- Tidak dapat memahami konsep himpunan atau klasifikasi.
Karakteristik perkembangan kognitif masa operasional konkret mencakup:
- Mulai berpikir logis;
- Pemikiran terbatas pada benda-benda konkret;
- Tidak dapat memikirkan berbagai kemungkinan cara pemecahan masalah secara sistematis.
Akan tetapi, asesmen perlu dilakukan sebelum kita
memastikan bahwa anak memiliki karakteristik tersebut.