Sebelum munculnya pemikiran tentang pendidikan inklusif, setidaknya dilatarbelakangi adanya sejumlah orang yang terpinggirkan atau ditolak sehingga tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Faktor utama yang menyebabkan mereka terpinggirkan/tertolak adalah faktor pendidikan (UNESCO, 1990) sehingga pendidikan menjadi isu utama untuk mengatasi masalah ini. Jika kita mengacu pada data International Consultative Forum on Education for All (2000) di dunia ini terdapat 113 juta orang anak-anak usia pendidikan dasar yang tidak sekolah. 90% dari jumlah itu berada di negara yang penghasilannya rendah hingga menengah serta lebih dari 80 juta orang anak-anak seperti itu tinggal di negara-negara Afrika. Kalaupun ada yang mampu sekolah, sebagian dari mereka drop out/putus sekolah padahal pendidikannya belum selesai.
Selain data tersebut di atas, ada pula data yang menyebutkan bahwa ada sekelompok orang karena perbedaan gender menyebabkan orang itu tidak dapat sekolah, misalnya di Afghanistan, ada budaya yang melarang kaum perempuan untuk bersekolah dan keluar rumah, kalaupun bisa sekolah dan keluar rumah sangatlah terbatas. Masih banyak data lain yang menyebutkan persoalan mengapa seseorang atau sejumlah orang tidak dapat menikamti haknya untuk memperoleh pendidikan, diantaranya karena masalah geografis, kondisi peperangan, bencana alam, dan lain-lain. Kondisi itu tentunya sangat memprihatinkan karena mereka akan menjadi orang yang termarginalkan dan tertolak oleh masyarakat.
Itu semua ternyata menjadi permasalahan disetiap negara, bahkan di negara yang dikatakan sebagai negara maju sekalipun, hanya saja di negara maju jumlahnya lebih sedikit dibandingkan negara “miskin” dan berkembang. Jadi hampir di seluruh dunia memiliki persoalan yang sama, bagaimana semua warganya dapat mengakses atau memperoleh pendidikan, ternyata pendidikan itu adalah hak setiap warga negara, sehingga tidak ada lagi sejumlah orang yang terpinggirkan (kaum marginal) dan tertolak dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya serta pendidikan. Semua negara memprihatinkan itu semua.
Berdasarkan itu maka negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencoba mencari solusinya. Mereka, melalui lembaga di bawah naungan PBB, yaitu UNESCO, mengusulkan untuk mengadakan suatu konfrensi internasional. Usulan itu diterima oleh PBB karena tidak bertentangan dengan Deklarasi tentang Hak Azasi Manusia (1948) dan konvensi Hak Anak (1989). Konfrensi pun terlaksana pada tahun 1990 di Thailand dengan nama The Jomitien World Conference on Education for All, diikuti oleh hampir seluruh negara anggota PBB, beberapa organisasi di bawah naungan PBB (UNESCO, UNICEF, WHO, dll) serta Lembaga Swadaya Masyarakta (LSM) nasional dan internasional. Di dalam konfrensi itu, mereka berupaya serius mencari solusi. Dalam konfrensi ini lah munculnya konsep pendidikan untuk semua.
Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa konferensi tersebut dilandasi oleh Deklarasi tentang Hak Azasi Manusia (PBB 1948) (yang menyatakan tentang hak pendidikan dan partisipasi penuh bagi semua orang) dan Konvensi Hak Anak (1989) , itulah dokumen internasional pertama yang menjadi rujukan hukum munculnya pemikiran pendidikan inklusif dikemudian hari. Selanjutnya, UU dan dokumen hasil konfrensi tersebut terus digunakan untuk menjadi landasan dalam memecahkan masalah marginalisasi itu.
Hasil dari konfrensi diantarnya menyatakan bahwa: (1) memberi kesempatan kepada semua anak untuk sekolah, dan (2) memberikan pendidikan yang sesuai bagi semua anak. Dalam kenyataannya hasil konfrensi belum termasuk di dalamnya anak-anak berkebutuhan khusus.
Mengingat hasil konfrensi itu, memunculkan pemikiran kritis dari organisasi penyandang cacat dan anak berkebutuhan khusus serta didukung oleh beberapa negara. Kemudian mereka membuat suatu konfrensi dengan landasan konfrensi sebelumnya ditambah dengan Peraturan Standar tentang KEsamaan KEsempatan untuk Orang-Orang Penyandang Cacat (PBB, 1993). Konfrendii ini dinamai The Salamanca World Conference on Special Needs Education (UNESCO, 1994). Dari konfrensi inilah muncul prinsip-prinsi dan konsep dasar dari pendidikan inklusif, yang selanjutnya dikenal dengan pernyataan Salamanca tentang pendidikan inklusif.
Untuk mengukuhkan pernyataan dan konsep pendidikan inklusif yang dihasilkan di Salamanca dan diharapkan menjadi konsep milik bersama maka PBB melalui UNESCO menyelenggarakan konfrensi pendidikan untuk semua (PUS) kedua di Dakar tahun 2000. Dari Konfrensi PUS kedua ini lah mulai muncul kerangka aksi pelaksanaan pendidikan inklusif yang dibagi berdasarkan wilayah/region. Contohnya, pada bulan oktober 2002 kelompok kerja Asia Pasifik meluncurkan Aksi Biwako Millenium Framework (BMF) sebagai kerangka kerja regional untuk panduan negara-negara di Asia Timur dan Pasifik yang dalam pelaksanaannya diperluas menjadi Asia Pasifik untuk sepuluh tahun yang akan datang (Raharja, 2006:9).