Istimewanya Anak-Anak Istimewa
Oleh Untung SDR dari Dewi Muchtar
Bersama Luthfi Azzuhdi
Saat ini ada 3 sampai 4 juta anak-anak dengan kesulitan belajar spesifik di Indonesia.
Padahal, mereka memiliki potensi intelektual yang baik namun tidak muncul
dalam prestasi belajar di sekolah.
Perasaan Thea, 45 tahun, tak menentu dan jantungnya deg-degan saat kepala sekolah membagikan hasil nilai ujian siswa kelas 6 SD Pantara, yang terletak di Jalan Senopati Raya, Kebayoran Baru, Jakarta.
Seperti ibu-ibu lainnya, Thea tengah menunggu hasil ujian akhir putri sulungnya, Widiarthi Kusumoningtyas, 12, atau yang akrab disapa Ajeng. Tak sampai menunggu lama, wajah ibu tiga putra ini berubah ceria ketika membaca pengumuman yang tertera di lembar kertas ukuran kwarto itu. Matanya terbelalak takjub dengan nilai yang tertera, Ajeng lulus dengan nilai rata-rata 7,5.
Saran Dokter Pribadi
Saat diberitahu bahwa Ajeng berprestasi sebagai juara umum di sekolah, anak itu justru biasa-biasa saja menanggapi. Thea, memahami betul keadaan putrinya yang satu ini, yang disebut sebagai anak learning differences (LD). “Dia memang tidak mengerti apa makna keberhasilannya ini. Dari tadi dia cuek saja tuh. Sama sekali nggak menanyakan apakah dia lulus atau tidak. Tapi, tidak semua ya anak-anak seperti dia berlaku seperti itu, karena ada juga yang sibuk bertanya pada orangtuanya,” ungkap Thea.
Thea mengetahui Ajeng mengalami kesulitan belajar ketika putrinya berusia tiga tahun. Akibat hiperaktivitas yang ditunjukkan Ajeng sejak masuk sekolah, membuat ibu satu ini terpaksa memindahkan Ajeng dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Ia tak kuat menghadapi putrinya tak dipedulikan oleh guru. Sampai akhirnya Thea mendapat saran dari dokter pribadi Ajeng agar putrinya dimasukkan ke sekolah yang memang spesial menangani anak dengan kesulitan khusus dalam belajar.
Eiit, jangan salah sangka dulu. Meski mengalami kesulitan belajar, Ajeng memiliki otak yang encer. Namun, memang tidak kelihatan ketika dia masih di sekolah umum. ”Karena guru di sekolah umum tidak mengerti penanganan anak-anak seperti Ajeng. Ajeng itu kan selain sulit konsentrasi juga hiperaktif. Perjuangannya sungguh luar biasa. Kalau kelewat dikerasi dia lebih keras dari kita. Sementara kalau dihalusi, dia malah memanfaatkan kelemahan saya.” Saat ini, Thea mengaku sedang mempersiapkan Ajeng menghadapi dunia barunya di SMP umum nanti. Itu artinya Ajeng harus siap bersosialisasi di sekolah yang kenyataannya bukan untuk anak-anak yang memiliki permasalahan dalam belajar; membaca (disleksia), menulis (disgrafia), berhitung (diskalkulia), berbicara (disparksia), dan berkonsentrasi (ADD/ADHD), seperti Ajeng dan teman-temannya di SD Pantara.
Melamun Saat Diterangkan
Ternyata anak kedua Thea, Bambang Wyasa Juliartho, 8, atau akrab disapa Dimas, juga mengalami hal yang serupa dengan kakaknya. ”Tapi, yang sedikit melegakan, kondisi Dimas tidak seberat Ajeng. Kalau Dimas cuma ADD atau bermasalah dalam berkonsentrasi, tapi nggak hiperaktif seperti kakaknya. Kesulitan dia di sekolah, gurunya menerangkan suatu materi pelajaran dia malah melamun. Jadi, kalau dia ditanya, ya dia nggak tahu,” ujar Thea yang baru memindahkan Dimas ke SD Pantara sekitar dua bulan lalu.
Sementara itu Alif, 9 tahun, siswa kelas 3 di sekolah yang sama, menurut Widi, ibunya, kondisinya sama dengan Dimas yang juga mengalami kesulitan berkonsentrasi. Namun, belakangan Widi melihat perkembangan Alif yang cukup baik, karena di luar sekolah putra semata wayangnya itu diikutkan kursus piano. ”Konsentrasi Alif lebih terlatih. Saya melihat, selama memainkan tuts piano konsentrasinya sama sekali tidak terpecah. Sebagai orangtua, terus terang saya tidak begitu mengerti mengenai istilah yang disampaikan dokter tentang anak saya. Tapi saya ingin yang terbaik buat Alif. Makanya, saat dokter bilang dia harus diterapi ini dan itu, saya menurut saja. Yang penting Alif bisa tumbuh seperti anak-anak lain. Butuh kesabaran lebih karena Alif terkadang tulallit,” ujar ibu muda yang pintar bernyanyi ini.
Diperlukan Kerjasama
Apa itu anak LD? Menurut Untung Sudrajat, S.Pd., Kepala SD Pantara, mereka adalah anak atau individu yang memiliki cara atau gaya belajar yang berbeda (learning differences). Pada awalnya dipakai istilah learning disability atau ketakmampuan belajar. Namun, istilah tersebut mulai ditinggalkan karena dinilai memberi konotasi negatif. Seolah-olah mereka adalah anak-anak yang tidak memiliki masa depan dan tidak mampu belajar dengan baik.
Anak LD adalah anak yang memiliki disfungsi minimum di otak (DMO), yang menyebabkan tercampur-aduknya sinyal-sinyal antara indera dan otaknya. Termasuk di dalamnya mereka yang memiliki gangguan konsentrasi dan hiperaktivitas (ADD/ADHD). Meski begitu anak LD adalah individu yang memiliki kecerdasan normal bahkan di atas normal. Tetapi mereka memiliki masalah dalam pemrosesan informasi di otaknya, ketika menerima stimuli melalui indera. Tak heran, karena masalah yang dialaminya, sering ditemukan perbedaan nyata antara hasil tes IQ dengan prestasi akademiknya di sekolah.
”Problem anak LD tidak disebabkan oleh faktor eksternal atau faktor kecacatan fisik dan mental. Melainkan lebih disebabkan oleh disfungsi minimum di otaknya,” ujar Untung. Dikatakan Untung lagi, anak LD biasanya memiliki krisis kepercayaan dalam dirinya. Bahkan mereka juga terlihat kurang dewasa dibanding anak seusianya. Kondisi LD juga cenderung mempengaruhi koordinasi fisik dan perkembangan emosi mereka.
”Sebagai contoh Ajeng. Secara akademik cerdas, bahkan ia mampu meraih predikat juara umum di sekolahnya. Tetapi secara sosial ia kurang pede. Kadang-kadang muncul mekanisme pertahanan diri: sering beralasan atau menyalahkan pihak lain kalau ia melakukan kekeliruan. Namun, kadang pula ia melakukan hal itu tanpa disadarinya secara penuh,” papar Untung lagi.
Kerjasama orangtua dengan guru memang sangat menentukan untuk meraih keberhasilan. Terutama untuk mendorong anak-anak LD ini mampu mengontrol dirinya. Kata kunci yang paling tepat dalam menangani mereka adalah konsitensi. ”Target yang kita harapkan adalah anak dapat mengontrol dirinya sendiri. Intinya bukan dengan menghilangkan gejala seperti orang sembuh dari penyakit—karena LD sendiri bukanlah penyakit. Pihak sekolah hanya berupaya seoptimal mungkin melatih agar mereka dapat mengontrol dirinya sendiri,” urai Untung.